Profesi Sebagai Penulis dan Kisah-kisah Mengharukan

Itulah rasanya yang selalu saya baca dan saya dengar, ketika saya mulai benar-benar ingin serius menulis. Begitu memprihatinkan memang, namun keprihatinan itu muncul bagi seseorang yang memilih berprofesi penuh waktu sebagai penulis.

Dua tahun lalu, menulis adalah profesi utama saya. Ya, penuh waktu. Sebelumnya, saya punya profesi lain yang mendapatkan gaji rutin tiap bulannya. Namun semua itu terhenti ketika saya memutuskan belajar lagi tentang sastra. Saya mengambil studi di Magister Kajian Sastra dan Budaya Universitas Airlangga Surabaya dan 20 Maret 2016 lalu diwisuda. Alhamdulillah, kelar tepat waktu, empat semester.

Tentu hal paling besar yang mendorong saya meninggalkan profesi dengan gaji tetap itu ada beberapa alasan. Pertama, gaji saya tidak cukup. Maksud tidak cukup di sini yaitu uang yang harus ditabung (uang di luar operasional selama sebulan, sampai gajian lagi). Seharusnya, disesuaikan dengan biaya per semester kuliah, tabungan per bulan sejuta, tapi saya hanya bisa menabung 500 ribu. Lah, sisanya ikut siapa?

Kedua, ingin lebih punya banyak waktu belajar. Saya tidak mau kejadian pada waktu S1 terulabg kembali. Dulu, saya harus berjualan kerupuk dari warung ke warung demi bisa terus kuliah. Efeknya banyak nilai mata kuliah jelek. Dan tidak saya ulang karena memakan waktu, sedangkan waktu luang saya harus dipakai bekerja.

Saya rasa dua itulah yang terbesar alasannya. Selebihnya apa sudah beres? Tentu semakin tidak beres. Saya makin stress, badan tambah kurus. Uang semester kedua baru terkumpul setengahnya. Lah, sekarang malah tidak punya penghasilan tetap.

Saya terkubur dalam pesimistis selama dua bulan. Sampai akhirnya kontemplasi itu menemui titik paling ampuh. Yah, waktu bayar semester sudah bulan depan. Ah, sudahlah, gusti pengeran ora sare (Tuhan tidak tidur). Plong sudah akhirnya, beban dalam pikiran dan semua masih buruk, tetap tidak punya tabungan. Akan tetapi beban di pikiran sudah tuntas.

Kembalilah saya menulis. Saya menulis dan mengirim ke media. Menulis blog dan promosi self publishing untuk penerbitan saya. Terus, terus, dan terus. Hasil masih nihil. Uang rokok makin menipis. Tabungan buat bayar kuliah tergerus juga.

Aih, makin parah dan akhirnya tembakau linting pilihannya. Yah, tengwe (gelenter dewe). Beli tembakau satu ons untuk dua minggu, cukup 15 ribu sama kertas rokoknya. Agenda konsumtif berkurang. Saya perokok aktif. Saya sadar akan segala resiko merokok, namun dengan alasan yang tidak dibuat-buat, sampai saat ini belum ada yang bisa menggantikan kekuatan rokok dalam hidup saya. Kekuatan spirit yang dahsyat. Spirit yang selalu menguatkan dan mendorong saya maju dan kreatif.

Jualan buku online, cukup menolong. Setidaknya buat uang saku kuliah dan membeli buku acuan perkuliahan. Yah, dari buku untuk ilmu dan keberlangsungan hidup. Perlahan mulai membaik. Tulisan dimuat, sosialisasi di medsos makin saya galakkan. Perlahan makin membaik.

Undangan bedah buku, pelatihan menulis, menjadi juri, baca puisi, membuat konsep acara, melatih teater, job fotografi, job menangani karnaval, dan self publishing mulai berdatangan. Uang bisa ditabung. Bayar kuliah lancar, hingga wisuda tiba. Puji syukur.

Sungguh, menulis dan berkesenian telah menolong hidup saya. Namun setelah masa perjuangan menyelesaikan kuliah usai. Semua kembali seperti semula. Saya pulang ke rumah, sebuah desa kecil. Ucapan mulai tergiang di telinga. Profesi saya sebagai penulis tidak dianggap. Saya lebih disebut pengangguran. Aih, beban mental kembali tiba. Orangtua juga seperti itu, tapi ibu bisa memahami, walaupun juga berharap saya kembali mencari pekerjaan yang bisa dipandang orang-orang di desa.

Aih, entahlah gusti ora sare. Kembali saya pasrahkan semuanya. Saya tidak menolak bekerja, tapi menulis, kesenian, dan buku adalah penolong saya. Semua akan terus saya galakkan dan perjuangkan seiring perjalanan hidup saya kelak. Semoga Tuhan meridhoi.

Penulis: AKHMAD FATONI

Lahir di Mojokerto, 29 Pebruari 1988. Alumnus S1 sastra Indonesia, Unesa (2010) dan S2 Kajian Sastra dan Budaya Universitas Airlangga (2016). Bukunya: (1) Lengan Lirang (Puisi, 2012); (2) Kredo Mimpi (Esai, 2014); (3) Tembang Dolanan (Puisi, 2015); (4) Meja Nomor 8 (Cerpen, 2016). Email: fatoni.akhmad@gmail.com

12 tanggapan untuk “Profesi Sebagai Penulis dan Kisah-kisah Mengharukan”

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.